Sumber gambar: Wikipedia |
Proses pendidikan tentu tidak berjalan dengan sendirinya. Ada pelopor yang berpengaruh besar dalam perjuangan menyamaratakan hak memperoleh pendidikan. Nama yang tak akan pernah lekang oleh zaman adalah Ki Hajar Dewantara, yang disebut juga Bapak Pendidikan. Beliaulah yang memperjuangkan hak masyarakat Indonesia untuk dapat mengenyam pendidikan, dan di masa kini beliaulah panutan para penerus proses pendidikan yaitu guru dan siswa.
Telah lekat pemikiran kolod bahwa anak dididik itu bermaksud
diubah dari tidak baik menjadi baik. Dipaksa tidak mau menjadi mau. Dipaksa dari
tidak bisa menjadi bisa. Nyatanya tidak semua anak harus mau. Tidak semua anak
harus bisa sesuatu yang memang tidak harus bisa. Kita tidak akan pernah mampu
memaksa ikan untuk terbang dan memaksa burung untuk menyelam, bukan? Yang seharusnya,
jika jadi burung, terbanglah menembus cakrawala, dan jika menjadi ikan,
menyelamlah di laut terdalam untuk menemukan Mutiara.
Pemahaman tentang semboyan yang harus diimplementasikan
Hingga kini dikenal semboyan dari Ki Hajar Dewantara yaitu “Tut
Wuri Handayani” yang masih disematkan menjadi semboyan pendidikan di Indonesia.
Yang diketahui secara umum bahwa semboyan tersebut berarti “di belakang memberi
dorongan”. Semboyan bukanlah hanya semboyan belaka tetapi terapkan maknanya juga.
Bagaimana mengaitkan pemahaman semboyan ini dalam dunia pendidikan khususnya
peran sebagai guru?
Di belakang memberi dorongan bermaksud bukan mendorong, menggiring dan
memaksa anak-anak atau siswa sesuai kehendak guru. Tetapi maknanya adalah
pelan-pelan mendorong dan mengarahkan sesuai jalan yang anak kehendaki. Mengarahkan
dan menggali potensi diri yang dimiliki oleh anak didik.
Ketika anak-anak telah tiba di sekolah, mereka bukanlah bayi
baru lahir sehingga bak kertas kosong. Mereka telah hidup sekian tahun sebelum
akhirnya memilih sekolah untuk tempat mengenyam pendidikan. Sehingga mereka
telah memiliki garis-garis karakteristik bawaan dari genetik maupun lingkungan.
Tugas guru dalam mendorong adalah mengasah kembali karakteristik baik yang
memungkinkan mengandung minat dan bakat di dalamnya.
Dilansir dalam modul 1.1 Program Pendidikan Guru Penggerak
yang berjudul Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara menyatakan
bahwa “Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang
berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat
berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang
biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios =
hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.”
Dari kutipan di atas dapat dimaknai bahwa ada karakteristik
anak yang memang tidak dapat diubah lagi, guru tidak berhak mengubahnya. Semua yang
sudah menjadi dasar hidup anak itu ada bukan untuk diubah apalagi dihilangkan. Misalnya
kesukaan anak, batas kesabaran anak, dan lain-lain.
Untuk watak yang dapat diubah pun bukan serta-merta guru
bisa mengubahnya tetapi guru mendorong watak tersebut untuk jadi lebih baik. Misalnya
membantu siswa untuk mengasah skillnya dalam bidang berbahasa asing,
memfasilitasi siswa untuk menyalurkan bakatnya, dan lain-lain.
Kodrat anak
Masih dilansir dari Modul 1.1 Program Guru Penggerak dengan
judul Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, dijabarkan bahwa
anak memiliki dua kodrat yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan
dengan karakteristik dan lingkungan yang memang tidak dapat diubah tetapi dapat
digali dan ditingkatkan potensi baiknya. Kodrat zaman yang justru kebalikannya,
kodrat ini dapat berubah-ubah sesuai zaman yang berlangsung.
Diketahui bahwa zaman terus bergulir tanpa menemukan titik
henti. Dalam hal ini bukan hanya anak yang terus mengubah zaman demi zaman,
tetapi guru juga mutlak mengikuti perkembangan zaman tersebut. Bagaimana guru
dapat menjadi panutan jika zaman saja ketinggalan di belakang. Bukan begitu?
Menggali lagi kodrat zaman, saya berusaha untuk mengimplementasikan
di dalam proses belajar mengajar di kelas. Menggunakan alat peraga yang sudah
tersedia di sekolah sebagai media pembelajaran adalah salah satu langkah
awalnya. Kemudian menggunakan perangkat digital yang lekat dengan dunia gen Z. menyelami terlebih dahulu apa yang
mereka sukai kemudian guru beradaptasi.
Anak-anak gen Z yang lahir sebagai digital native kebanyakan
menyukai dunia video creator. Saya berusaha menerapkan itu. Untuk anak-anak
yang tidak suka menulis, tetapi suka membuat video, diperbolehkan membuat
proyek latihannya dengan menggunakan video. Misalnya latihan menyusun dialog
percakapan. Tidak semua anak suka menulis, dan tidak semua anak percaya diri
tampil di kelas. Merekam dan berdialog banyak menjadi alternatif untuk tipe
anak seperti ini.
Komik digital karya Lutfi dan kawan-kawan siswa SMP PGRI Mako |
Tidak hanya itu, untuk anak-anak yang menyukai menggambar. Memilih
untuk membuat percakapan dengan gambar atau komik. Lagi-lagi ketika diberi
pilihan membuat komik manual atau digital, mereka memilih komik digital karena
pilihan warna yang tegas, jelas dan variatif. Lebih rapi dan menarik hasilnya
dari komik digital menurut anak-anak.
Apa yang harus
dilakukan setalah memahami kodrat anak?
Untuk yang selama ini masih memiliki pemahaman mendidik
adalah mengubah, memaksa, mengharuskan bisa. Maka sebisa mungkin tidak merampas
hak dan kodrat anak lagi. Kembalikan kodratnya. Tuntun meraka meraih impiannya,
tuntun mereka untuk mendalami bakatnya, tuntun mereka mendapatkan kemerdekaan
dalam belajarnya.
Selain itu sadari bahwa kita hidup bukan di zaman kita
dilahirkan. Tetapi guru mendidik di mana zaman anak-anak berkembang. Bahkan guru
mendidik bukan di zaman di mana guru dulu dididik. Jells beda zaman. Tidak bisa
membandingkan zaman guru sekolah dan zaman anak didiknya sekarang sekolah.
Mengikuti perkembangan zaman itu hukumnya mutlak harus. Tentu
dengan jalan menjadi pembelajar sepenjang hayat. Tugas guru bukan hanya mengajar
tetapi terus dan terus belajar.
Setelah memahami filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara,
saya bertekad untuk lebih memahami kodrat alam anak, bakat, minat,
karakteristiknya. Dengan begitu dapat mempermudah menerapkan strategi mengajar
yang sesuai.
Menggali kembali potensi yang murni telah dimiliki anak,
atau memperjelas garis-garis bakat anak yang telah disiapkan oleh alam sekitar
sebelum anak mengenal sekolah.
Demikian ulasan saya tentang pemahaman filosifis pendidikan
nasional Ki Hajar Dewantara. Berharap besar bahwa ulasan ini dapat bermanfaat.