Thursday, August 31, 2023

Pemahaman dari Filosofis Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Penerapannya di Sekolah Masa Kini

Sumber gambar: Wikipedia


 

        Proses pendidikan tentu tidak berjalan dengan sendirinya. Ada pelopor yang berpengaruh besar dalam perjuangan menyamaratakan hak memperoleh pendidikan. Nama yang tak akan pernah lekang oleh zaman adalah Ki Hajar Dewantara, yang disebut juga Bapak Pendidikan. Beliaulah yang memperjuangkan hak masyarakat Indonesia untuk dapat mengenyam pendidikan, dan di masa kini beliaulah panutan para penerus proses pendidikan yaitu guru dan siswa.

Telah lekat pemikiran kolod bahwa anak dididik itu bermaksud diubah dari tidak baik menjadi baik. Dipaksa tidak mau menjadi mau. Dipaksa dari tidak bisa menjadi bisa. Nyatanya tidak semua anak harus mau. Tidak semua anak harus bisa sesuatu yang memang tidak harus bisa. Kita tidak akan pernah mampu memaksa ikan untuk terbang dan memaksa burung untuk menyelam, bukan? Yang seharusnya, jika jadi burung, terbanglah menembus cakrawala, dan jika menjadi ikan, menyelamlah di laut terdalam untuk menemukan Mutiara.

Pemahaman tentang semboyan yang harus diimplementasikan

Hingga kini dikenal semboyan dari Ki Hajar Dewantara yaitu “Tut Wuri Handayani” yang masih disematkan menjadi semboyan pendidikan di Indonesia. Yang diketahui secara umum bahwa semboyan tersebut berarti “di belakang memberi dorongan”. Semboyan bukanlah hanya semboyan belaka tetapi terapkan maknanya juga. Bagaimana mengaitkan pemahaman semboyan ini dalam dunia pendidikan khususnya peran sebagai guru?

Di belakang memberi dorongan bermaksud bukan mendorong, menggiring dan memaksa anak-anak atau siswa sesuai kehendak guru. Tetapi maknanya adalah pelan-pelan mendorong dan mengarahkan sesuai jalan yang anak kehendaki. Mengarahkan dan menggali potensi diri yang dimiliki oleh anak didik.

Ketika anak-anak telah tiba di sekolah, mereka bukanlah bayi baru lahir sehingga bak kertas kosong. Mereka telah hidup sekian tahun sebelum akhirnya memilih sekolah untuk tempat mengenyam pendidikan. Sehingga mereka telah memiliki garis-garis karakteristik bawaan dari genetik maupun lingkungan. Tugas guru dalam mendorong adalah mengasah kembali karakteristik baik yang memungkinkan mengandung minat dan bakat di dalamnya.

Dilansir dalam modul 1.1 Program Pendidikan Guru Penggerak yang berjudul Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.”

Dari kutipan di atas dapat dimaknai bahwa ada karakteristik anak yang memang tidak dapat diubah lagi, guru tidak berhak mengubahnya. Semua yang sudah menjadi dasar hidup anak itu ada bukan untuk diubah apalagi dihilangkan. Misalnya kesukaan anak, batas kesabaran anak, dan lain-lain.

Untuk watak yang dapat diubah pun bukan serta-merta guru bisa mengubahnya tetapi guru mendorong watak tersebut untuk jadi lebih baik. Misalnya membantu siswa untuk mengasah skillnya dalam bidang berbahasa asing, memfasilitasi siswa untuk menyalurkan bakatnya, dan lain-lain.

Kodrat anak

Masih dilansir dari Modul 1.1 Program Guru Penggerak dengan judul Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, dijabarkan bahwa anak memiliki dua kodrat yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan karakteristik dan lingkungan yang memang tidak dapat diubah tetapi dapat digali dan ditingkatkan potensi baiknya. Kodrat zaman yang justru kebalikannya, kodrat ini dapat berubah-ubah sesuai zaman yang berlangsung.

Diketahui bahwa zaman terus bergulir tanpa menemukan titik henti. Dalam hal ini bukan hanya anak yang terus mengubah zaman demi zaman, tetapi guru juga mutlak mengikuti perkembangan zaman tersebut. Bagaimana guru dapat menjadi panutan jika zaman saja ketinggalan di belakang. Bukan begitu?

Menggali lagi kodrat zaman, saya berusaha untuk mengimplementasikan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Menggunakan alat peraga yang sudah tersedia di sekolah sebagai media pembelajaran adalah salah satu langkah awalnya. Kemudian menggunakan perangkat digital yang lekat dengan dunia  gen Z. menyelami terlebih dahulu apa yang mereka sukai kemudian guru beradaptasi.

                                      Salah satu tugas menyusun percakapan dalam bentuk video


Anak-anak gen Z yang lahir sebagai digital native kebanyakan menyukai dunia video creator. Saya berusaha menerapkan itu. Untuk anak-anak yang tidak suka menulis, tetapi suka membuat video, diperbolehkan membuat proyek latihannya dengan menggunakan video. Misalnya latihan menyusun dialog percakapan. Tidak semua anak suka menulis, dan tidak semua anak percaya diri tampil di kelas. Merekam dan berdialog banyak menjadi alternatif untuk tipe anak seperti ini.

Komik digital karya Lutfi dan kawan-kawan siswa SMP PGRI Mako


Tidak hanya itu, untuk anak-anak yang menyukai menggambar. Memilih untuk membuat percakapan dengan gambar atau komik. Lagi-lagi ketika diberi pilihan membuat komik manual atau digital, mereka memilih komik digital karena pilihan warna yang tegas, jelas dan variatif. Lebih rapi dan menarik hasilnya dari komik digital menurut anak-anak.

 Apa yang harus dilakukan setalah memahami kodrat anak?

Untuk yang selama ini masih memiliki pemahaman mendidik adalah mengubah, memaksa, mengharuskan bisa. Maka sebisa mungkin tidak merampas hak dan kodrat anak lagi. Kembalikan kodratnya. Tuntun meraka meraih impiannya, tuntun mereka untuk mendalami bakatnya, tuntun mereka mendapatkan kemerdekaan dalam belajarnya.

Selain itu sadari bahwa kita hidup bukan di zaman kita dilahirkan. Tetapi guru mendidik di mana zaman anak-anak berkembang. Bahkan guru mendidik bukan di zaman di mana guru dulu dididik. Jells beda zaman. Tidak bisa membandingkan zaman guru sekolah dan zaman anak didiknya sekarang sekolah.

Mengikuti perkembangan zaman itu hukumnya mutlak harus. Tentu dengan jalan menjadi pembelajar sepenjang hayat. Tugas guru bukan hanya mengajar tetapi terus dan terus belajar.

Setelah memahami filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, saya bertekad untuk lebih memahami kodrat alam anak, bakat, minat, karakteristiknya. Dengan begitu dapat mempermudah menerapkan strategi mengajar yang sesuai.

Menggali kembali potensi yang murni telah dimiliki anak, atau memperjelas garis-garis bakat anak yang telah disiapkan oleh alam sekitar sebelum anak mengenal sekolah.

Demikian ulasan saya tentang pemahaman filosifis pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Berharap besar bahwa ulasan ini dapat bermanfaat.

Wednesday, August 30, 2023

Nilai-nilai Kearifan Budaya Daerah Asal yang Relavan Menjadi Penguatan Karakter Murid Sebagai Individu Sekaligus Sebagai Anggota Masyarakat

Sosio-kultural di Daerah Asal


    Di dalam lingkungan pendidikan khususnya di sekolah, yang memiliki beberapa komponen, salah satunya pendidik dan peserta didik tidak akan lepas dari sosio-kultural daerah tersebut. Sosio-kultural sudah menjadi kodrat alam yang terbentuk dari adat istiadat bermasyarakat.

Terdapat beberapa konsep yang dapat diimplementasikan kepada peserta didik kaitannya antara konteks lokal sosial budaya dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Diantaranya adalah:

  • 1.      Peserta didik menyandang kodrat alam
  • 2.      Peserta didik mampu menghargai perbedaan
  • 3.      Peserta didik mampu menemukan makna hidup
  • 4.      Peserta didik mampu menghargai leluhur

 

            Peserta didik menyandang kodrat alam

Kembali ke filosofis Ki Hajar Dewantara bahwa anak menyandang kodrat alam, seperti budaya, karakteristik dan lingkungan. Kodrat alam tersebut bahkan sudah melekat pada diri anak sebelum ia masuk ke lingkup sekolah

Pendidik tidak menghilangkan kodrat alam anak

Sebagai seorang pendidik yang bertatap muka dengan anak setelah masuk lingkungan sekolah, pendidik perlu menyadari bahwa anak bukan kertas kosong yang dengan bebas mau dicoret dengan tinta warna apa. Pendidik tidak memiliki hak untuk mengubah apalagi menghilangkan kodrat alam anak.

·         Pendidik mengeksplor kodrat alam anak yang dibawanya

Alih-alih mengubah kodrat anak sesuka tujuan pembelajaran, tetapi pendidik justru diharuskan untuk mengeksplor kodrat alam anak yang telah tersedia. Pendidik dapat menggali minat dan bakat  anak agar dapat berkembang lebih baik. Potensi anak yang ada merupakan kodrat alam yang tidak perlu diubah-ubah.

Misalnya, anak dengan postur tubuh yang ideal dan tinggi, dipaksa untuk mengikuti latihan bola kaki, sedangkan anak tidak berminat sama sekali, dia lebih suka menggambar atau melukis. Maka walau pendidik merasa anak pantas untuk menekuni bidang olah raga, tetapi pendidik tidak dipernankan memaksa. Justru bakat anak melukis yang harus dikembangkan agar menemukan potensi diri yang lebih hebat lagi.

                        Peserta didik mampu menghargai perbedaan

Suku, adat dan budaya di sekolah yang majemuk menuntut pendidik untuk menuntun peserta didiknya agar saling menghargai. Menghargai dalam semua aspek di lingkup sekolah dan Masyarakat. Bukan hanya peserta didik yang wajib memiliki etika menghargai, tetapi juga gurunya sebagai pendidik wajib memiliki attitude baik dalam menerapkan budaya saling menghargai.

      Menghargai perbedaan budaya dan adat

Mengingat kemajemukan keluarga besar di lingkup sekolah, yang datang dari berbagai lokasi, saling menghargai perbedaan mutlak diterapkan. Pendidik perlu memberi pemahaman bahwa perbedaan bukanlah celah untuk mencela satu sama lain. Berbeda adalah warna, dan warna-warni itu indah.

      Tidak saling merundung (bully)

Sebisa mungkin lingkungan sekolah itu nol perundungan atau bullying. Biasanya pelaku bully menganggap perkataannya hanya bercanda, tetapi kita tidak pernah tau sekuat atau selemah apa mental seseorang. Maka, seperti apapun bentuknya perkataan atau sikap merendahkan itu tidak ada sisi baiknya. Jika saling menghargai sudah dapat diterapkan, maka aksi perundungan dapat diminimalisir. 

      Menampilkan budaya dengan percaya diri

Demi memperkuat kecintaan terhadap budaya daerah dan melestarikannya agar tidak punah, maka menampilkan atau menyelenggarakan pameran budaya itu perlu dilaksanakan. Selenggarakan event apapun itu, dan menyisipkan tampilan budaya.

Contohnya:

1.      Pada acara perayaan hari kemerdekaan, diadakan juga karnaval budaya dengan iring-iringan yang mengenakan pakaian adat. Kegiatan ini telah terselenggara di Kabupaten Buru, di Kecamatan Lolong Guba dan Waeapo contohnya.

2.      Pada acara Hari PGRI, biasanya diadakan upacara peringatan dan ditutup dengan acara makan-makan makanan tradisional Buru. Banyak ragamnya, dari makanan berkarbohidrat sebagai manakan pokok, sampai lauk-pauk hasil laut.

3.      Pada acara-acara yang diselenggarakan di sekolah seperti pada saat porseni, sekolah dapat menampilkan kelompok-kelompok untuk menarikan tarian tradisional. Cara ini juga untuk mempererat kecintaan terhadap budaya di daerah ini.

                        Peserta didik mampu menemukan makna hidup

Memang benar bahwa guru mendidik saat ini, tetapi detik ini bukannya akhir dari kehidupan. Sangat diharapkan bahwa apa yang guru implementasikan saat ini, dapat bermanfaat kelak. Maka, guru perlu kiranya mampu menuntun peserta didik untuk menemukan makna hidupnya.

Makna hidup, tidak semata-mata hanya soal materi belaka. Makna hidup juga perkara kesejahteraan batiniah.

Salah satu cara memaknai hidup dalam lingkup sekolah adalah pendidik menuntun peserta didiknya untuk dapat mengolah dan memanfaatkan hasil bumi di daerahnya untuk kebutuhan hidup.

 

      Pendidik menuntun untuk mengolah hasil bumi daerah setempat

Alam yang kaya, perlu sumber daya manusia agar tidak terbuang sia-sia atau malah dikuasai oleh orang asing. Sedemikian banyak hasil bumi di Kabupaten Buru, terdapat tanaman sederhana yang mudah untuk dibudidayakan, ditanam dan diolah di sekolah. Contohnya tanaman singkong, yang mana banyak berbagai makanan olahan singkong yang biasa menjadi makanan sumber karbo di Buru ini.

Menanam singkong di lahan sekolah yang tidak butuh luas. Singkong dapat diolah menjadi keripik, embal, direbus, dikolak dan lain-lain.

Soal memanfaatkan hasil bumi ini juga menuai polemik. Terdapat peserta didik yang memang berasal dari keluarga pemanfaat hasil bumi atau petani. Peserta didik di pesisir, tidak sedikit yang meninggalkan sekolah demi memetik cengkih dan pala. Dilema juga, tidak sekolah akan tertinggal, tidak ke kebun maka tidak memiliki uang untuk sekolah. Hal ini bukan Cuma melibatkan guru sebagai penyelesaian. Tetapi juga pimpinan sekolah, bimbingan konseling, orang tua tentunya. Penanaman pemahaman tentang pendidikan perlu disosialisasikan untuk orang tua dan anggota keluarga tentunya.

      Pendidik menuntun untuk menemukan makna dari hasil

Selain memanfaatkan hasil bumi, pendidik perlu menuntun peserta didiknya untuk menemukan makna berkelanjutan dari hasil bumi tersebut. Misalnya mengajari untuk mengolah, memasarkan dan diberi pencerahan seperti apa untuk perkembangan ke depan.

Peserta didik mampu menghargai leluhur

Disadari bahwa sebelum kita hidup, ada leluhur yang lebih dulu membentuk adat, budaya, lingkungan yang menjadi kodrat ala manak. Perlu sekiranya anak dapat menghargai leluhur, para pahlawan termasuk pahlawan pendidikan. Maka peserta didik diarahkan untuk menghargai leluhur beserta adat istiadatnya.

Beberapa contoh cara menghargai leluhur adalah:

·         Mengheningkan cipta dan berdoa untuk arwah pahlawan

·         Berziarah ke makam pahlawan dan guru-guru yang telah wafat

·         Mengunjungi peninggalan sejarah di daerah setempat

 

Kekuatan pemikiran KHD yang menebalkan laku murid sesuai konteks lokal sosial budaya di daerah

Dari penjabaran di atas maka dapat diambil kesimpulan kekuatan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang dapat menebalkan laku peserta didik sesuai konteks lokal budaya adalah sebagai berikut:

      Menghargai asal usul

      Menghargai leluhur

      Melestarikan budaya

      Memanfaatkan hasil bumi

 

 


Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan Program Gaya Hidup Berkelanjutan untuk Kelas VII di SMP PGRI Mako

Proses P5 Gaya Hidup Berkelanjutan dengan memanfaatkan limbah gelas plastik Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) merupakan kegiata...