Monday, October 9, 2023

Study Kasus Budaya Positif

Ilustrasi murid bahagia di kelas. Lokasi: SMP PGRI Mako 

 


Di dalam ruang kolaborasi Modul 1.4 Pendidikan Guru Penggerak, kami diminta untuk menganalisis  kasus sebagai simulasi. Terdapat 4 kasus simulasi yang harus dianalisis. Dalam ulasan kali ini, akan menganalisis satu demi satu pada setiap kasusnya.

Study kasus ini diperuntukkan agar guru mampu menganalisis kasus dan dapat mengambil keputusan. Budaya positif yang diterapkan adalah menanamkan nilai-nilai kebajikan.

Study Kasus I

Guru Matematika dan wali kelas 8, Ibu Santi sakit, sehingga tidak dapat masuk dan mengajar. Akhirnya dicarikan guru pengganti, Ibu Eni. Ibu Eni baru 2 tahun menjadi guru SMP. Beberapa murid perempuan, Fifi dan Natali, mengetahui hal ini dan mulai menggunakan kesempatan dan bersikap seenaknya, tertawa dan tidak mengindahkan kehadiran Ibu Eni. Ibu Eni mencoba mendekati kedua murid perempuan tersebut dan menegur mereka dengan halus, namun ketiganya tetap berlaku tidak pantas. Mereka tetap tidak mengerjakan tugas dan malah mengobrol. Keesokan harinya, Ibu Santi memanggil Fifi dan Natali serta menanyakan tentang laporan Ibu Eni. Ibu Santi menanyakan apakah mereka bersedia melakukan restitusi? Fifi dan Natali sempat berdebat sedikit, namun pada akhirnya mengatakan akan meminta maaf. Ibu Santi menanggapi bahwa tindakan itu boleh saja dilakukan kalau mereka ingin melakukannya, dan menanyakan kembali, apa yang mereka bisa lakukan dengan restitusi? Baik Fifi maupun Natali mengakui bahwa perilaku mereka tidak sesuai dengan Keyakinan Kelas. Keduanya mengusulkan bagaimana kalau mereka mengadakan sebuah diskusi kelas dengan teman-teman sekelasnya tentang bagaimana seharusnya sikap mereka dalam menjalan keyakinan kelas, terutama tentang sikap saling menghormati, serta mengusulkan mengirim email kepada Ibu Eni tentang keputusan mereka tersebut. Mereka pun akan memberitahu Ibu Eni bahwa mereka akan mengusulkan kepada Kepala Sekolah agar kali waktu ketiadaan guru, agar Ibu Eni yang menggantikan dan pada kesempatan itu mereka dapat menunjukkan sikap yang lebih santun.

Setelah menelaah kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Ibu Santy telah melakukan langkah-langkah restitusi yang tepat. Dapat dilihat dari caranya menyelesaikan masalah melalui proses.

1.       Pertama menstablikan identitas: Ibu Santy menanyakan tentang laporan Ibu Eny terlebih dahulu sebagai acuan menyelesaian masalah. Di sini artinya Ibu Santy memastikan dahulu atas kebenaran laporan tersebut tanpa menyudutkan pihak terlapor.

2.       Berikutnya Validasi tindakan: Dapat dilihat pada tindakan Ibu Santy yang menanyakan apa yang dapat mengganti tindakan tidak hormat kepada Ibu Eny.

3.       Menanyakan Keyakinan: Dapat dilihat dari cara Ibu Santy  meminta Fifi dan Natali untuk meminta maaf kepada Ibu Eny

Analisis berikutnya tentang restitusi yang diusulkan Fifi dan Natali. Langkah-langkah sudah sesuai sebab melalui perundingan bersama teman sekelas mengenai keyakinan kelas.
Langkah-langkah restitusi yang diusulkan yaitu: Menstabilkan identitas, validasi tindakan dan menanyakan keyakinan

Kemudian analisis dari sudut pandang Ibu Eny. Ibu Eny sebagai pengganti guru matematika saat itu bertindak pada posisi sebagai teman sebab Ibu Eny tidak serta-merta menghukum Fifi dan Natali. Ibu Eny mendekati Fifi dan Natali terlebih dahulu dalam mengingatkan pentingnya mengerjakan tugas.

  Berikutnya bagaimana jika saya adalah Pak Hasan/ kepala sekolah. Saya merasa langkah yang diambil Ibu Santy sudah sesuai langkah-langkah segitiga restitusi dan berbagi hal positif kepada teman sejawat.

Study Kasus II

Sabrina hari itu bangun terlambat, dan terburu-buru sampai di sekolah. Dia pun akhirnya sampai di gerbang sekolah, tapi baru menyadari kalau tidak menggunakan sepatu hitam seperti tertera di peraturan sekolah. Di depan pintu kelas, Bapak Lukman memperhatikan sepatu Sabrina yang berwarna putih. Sabrina berusaha menjelaskan bahwa dia terburu-buru dan salah mengenakan sepatu. Pak Lukman menanyakan Sabrina, apa peraturan sekolah tentang seragam dan warna sepatu. Sabrina menjawab sudah mengetahui sepatu harus berwarna hitam, namun terburu-buru dan salah mengenakan sepatu, selain tidak mungkin kembali pulang karena rumahnya jauh sekali. Pak Lukman tetap bersikeras pada peraturan yang berlaku dan mengatakan, “Ya sudah, kamu sudah melanggar peraturan sekolah. Kamu salah. Sudah terlambat, salah pula warna sepatunya. Segera buka sepatumu kalau tidak bisa mengenakan warna sepatu sesuai peraturan”. Sabrina meminta maaf dan memohon kembali kepada pak Lukman agar dapat tetap mengenakan sepatunya dan berjanji tidak akan mengulang kesalahannya. Namun pak Lukman tidak mau tahu, “Tidak, kamu telah melanggar peraturan sekolah, kalau tidak sanggup ambil sepatu di rumah atau diantarkan sepatu ke sekolah, ya sudah kamu tidak usah bersepatu saja seharian di sekolah. Sekarang copot sepatumu dan silakan belajar tanpa sepatu seharian.” Sabrina pun dengan berat hati mencopot sepatunya dan memberikannya kepada pak Lukman. Seharian dia tidak berani berkeliling sekolah karena malu, dan lebih banyak berdiam diri di kelas tanpa alas sepatu.

Dari kasus kedua ini, dapat disimpulkan bahwa sikap posisi yang diambil Pak Lukaman adalah sebagai penghukum. Sebab Pak Lukman memberikan hukuman yang serta-merta.

Indikatornya yaitu:

  1. Pak Lukman tidak menerima alasan apapun yang diutarakan Sabrina.
  2. Pak Lukman memberi hukuman.
  3. Pak Lukman tidak menjalankan langkah-langkah restitusi.

Seharusnya Pak Lukman mengambil posisi sebagai manager dalam menyelesaikan kasus Sabrina di atas. Posisi manager adalah posisi paling ideal di antara semua posisi. Jika Pak Lukman Pemposisikan diri sebagai manager maka sikap Pak Lukman akan menanyakan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apa alasan kamu datang terlambat?
  2. Mengapa kamu memakai sepatu selain warna hitam?
  3. Tidakkah kamu tahu terkait keyakinan sekolah tidak memperbolehkan murid mengenakan sepatu selain warna hitam?
  4. Apakah kamu yakin tidak akan melanggar keyakinan sekolah lagi?
  5. Siapa yang dapat membantu kamu untuk tidak datang terlambat lagi dan mengenakan pakaian/sepatu yang sesuai?

Jika saya adalah kepala sekolah, nilai kebajikan yang ingin dituju dengan aturan sepatu harus berwarna hitam adalah:

  1. Nilai disiplin
  2. Dapat menghargai diri sendiri dan orang lain
  3. Tanggung jawab
  4. Kesetaraan
  5. Keserhanaan

Jika saya kepala sekolah pada sekolah tersebut, maka saya akan bersikap sebagai berikut:

  1. Mengganggap sikap Pak Lukman akan menimbulkan rasa trauma dan menanam kebencian.
  2. Meminta Pak Lukman untuk menjalankan langkah-langkah restitusi.
  3. Mengharapkan menanamkan disiplin positif jangka panjang, bukan hukuman sejenak dan tiba-tiba.

Study Kasus III

Ibu Dani sedang menjelaskan pelajaran Bahasa Inggris di papan tulis, namun beliau memperhatikan bahwa Fajar malah tidur-tiduran dan tampak acuh tak acuh pada pelajarannya. “Fajar coba jawab pertanyaan nomor 3. Maju ke depan dan kerjakan di papan tulis”. Fajar pun tampak malas-malasan maju ke depan, dan sesampai di depan papan tulis pun, Fajar hanya diam terpaku, sambil memegang buku bahasa Inggrisnya dan memainkan spidol di tangannya. “Ayo Fajar makanya jangan tidur-tiduran, lain kali perhatikan! Sudah sana, duduk kembali, kira-kira siapa yang bisa?” Fajar pun kembali duduk di bangkunya. Hal seperti ini sudah seringkali terjadi pada Fajar, sepertinya tidak memperhatikan, acuh tak acuh, dan nilai-nilainya pun tidak terlalu bagus untuk pelajaran Bahasa Inggris. Pada saat ditegur oleh ibu Dani, Fajar hanya menjawab, “Gak tahu Bu”. Ibu Dani pun menjawab, “Gimana sih Fajar, kamu gak kasihan sama Ibu ya, Ibu sudah capek-capek mengajarkan kamu. Gak kasihan sama Ibu?” dan Fajar pun diam membisu.

Sikap posisi yang diambil Ibu Dani dalam kasus di atas adalah sikap membuat rasa bersalah dalam pendekatannya kepada Fajar. Hal ini akan membuat Fajar menyalahkan dirinya sendiri dan tidak percaya diri di kemudian hari. Indikatornya yaitu: Menunjukan kepada fajar apakah tidak kasihan bahwa Ibu Dani sudah mengajar dengan susah payah dan Fajar tidak peduli sama sekali bahkan malah bermalas-malasan di dalam kelas.

Dalam kasus ini, sikap Fajar yang bermalas-malasan di kelas Bahasa Inggris, kebutuhan yang Fajar perlukan adalah kesenangan (fun).

Analisinya yaitu:

  1. Fajar bermalas-malasan menunjukan bahwa ia tidak bahagia.
  2. Fajar tidak termotivasi untuk belajar.

Dari kasus di atas terlihat Ibu Dani memposisikan diri sebagai pembuat rasa bersalah. Maka jika Ibu Dani mengambil posisi sebagai pemantau maka yang akan dilakukan dan dikatakan kepada fajar adalah:

  1. Memperhatikan tindak tanduk Fajar.
  2. Mencari tahu alasan Fajar bermalas-malasan.
  3. Menanyakan apakah bermalas-malasan di kelas itu Fajar  tidak merugi.
  4. Menanyakan apakah Fajar tidak mengetahui konseksuensi jika tidak memperhatikan proses pembelajaran

Jika saya adalah kepala sekolah di sana maka akan mengambil tindak lanjut sebagai berikut:

  1. Menggali informasi tentang tingkah anak yang bermalas-malasan di kelas.
  2. Memanggil Fajar dan Ibu Dani untuk mencari jalan keluar.
  3. Menanyakan kepada Fajar tentang pandangannya terkait pelajaran Bahasa Inggris.
  4. Mencerna apakah memang Fajar tidak menyukai pelajaran tersebut atau strategi pembelajarannya yang tidak sesuai dengan karakteristik Fajar.

Study Kasus IV

Anto dan Dino sedang bermain bersama di lapangan basket, dan tiba-tiba terlibat dalam sebuah pertengkaran adu mulut. Dino pun menjadi emosi dan mengadakan kontak fisik, menarik kemeja Anto dengan kasar, sampai 3 kancingnya terlepas. Pada saat itu guru piket langsung melerai mereka, dan membawa mereka ke ruang kepala sekolah. Ibu Kepala Sekolah, Ibu Suti menanyakan Dino tentang Keyakinan Sekolah yang telah disepakati, yaitu tentang sikap saling menghormati. Ibu Suti melanjutkan bertanya apakah Dino bersedia memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan terhadap Anto? Dino pun mengangguk. Kemudian Ibu Suti balik bertanya kepada Anto, apa kebutuhan Anto dalam peristiwa ini? Anto menjawab, “Saya perlu kancing saya diperbaiki pak. Ibu saya akan sangat marah kalau melihat kancing baju saya sampai copot 3 kancing begini.” Ibu Suti pun kembali bertanya ke Dino apakah dia bersedia menjahitkan kembali ketiga kancing Anto tersebut? Kesal, Dino menanggapi, “Menjahit? Mana saya tau gimana menjahit pak.” Ibu Suti meneruskan, “Apakah kamu bersedia belajar menjahit?” Dino berpikir sejenak, memandang kemeja Anto, dan menanggapi, “Yang mengajari saya siapa bu?” Dengan cepat Ibu Suti menjawab, “Pak Irfan, guru Tata Busana”. Dino menyetujui dan sepanjang siang itu belajar menjahit dan memperbaiki kemeja Anto. Terakhir terlihat pada jam pulang sekolah kedua anak laki-laki tersebut sudah bercengkrama dan bersenda gurau kembali.

Dari analisis kasus di atas posisi kontrol yang diambil Ibu Suti adalah sebagai manager. Kesimpulannya adalah:

  1. Ibu Suti mampu menyadarkan murid (Dino dan Anto) untuk mengakui kesalahannya.
  2. Ibu Suti meminta Dino untuk bertanggung jawab memperbaiki kancing baju Anto.
  3. Ibu Suti mampu meng-handle emosi kedua murid yang sedang berkonflik hingga dapat akur kembali.

Tampak Ibu Suti tidak berpihak pada siapa pun pada kasus di atas. Justru Ibu Suti menguatkan satu sama lain. Ibu Suti menguatkan Dino dan Anto melalui langkah-langkah restitusi.

Menstabilkan identitas dengan pernyataan:

       Melakukan kesalahan itu manusiawi.

       Mempertahankan diri itu juga penting.

Validasi tindakan dengan pernyataan:

       Sepertinya kamu begitu marah.

Menanyakan keyakinan dengan pertanyaan/pernyataan:

        Apa yang harus dilakukan Dino untuk menebus kesalahannya?

       Dapatkan kamu/Dino memperbaiki kancing baju Anto

       Kamu dapat belajar dari bapak Guru untuk menjahit kancing baju tersebut.

Pada kasus di atas nilai kebajikan yang dituju adalah:

  1. Saling menghormati
  2. Bertanggung jawab
  3. Peduli
  4. Mandiri

Demikian analisis study kasus yang mana kasus tersebut secara tidak langsung ada yang merasakannya di dalam realita. Pelajarannya adalah murid bukan dibuat bertobat dari sebuah hukuman dan ketakutan. Tetapi rasa sadar yang tumbuh dari hati, jiwa dan dalam diri itu sendiri. Maka yang dibutuhkan adalah kesadaran jangka panjang, bukan hukuman sejenak saja.

 

 



Thursday, September 7, 2023

Rancangan Kegiatan Inovatif Menggunakan Aplikasi Canva dalam Pembelajaran Berbasis Proyek

 

 

Contoh sederhana pembuatan poster via Canva

Peran sebagai guru bukanlah sekadar transfer ilmu. Terdapat peran dan nilai-nilai yang lebih dari itu. Guru berperan sebagai penggerak ekosistem sekolah diharuskan memiliki nilai-nilai dalam diri yang bukan hanya berilmu dan transfer ilmu. Di lansir dari modul dalam Program Pendidikan Guru Penggerak yaitu modul 1.2 yang berjudul Nilai dan Peran Guru Penggerak bahwa terdapat beberapa nilai-nilai guru penggerak, yaitu:

  • 1.      Berpihak pada murid
  • 2.       Inovatif
  • 3.       Kolaboratif
  • 4.       Reflektif
  • 5.       Mandiri

Pada ulasan kali ini akan berfokus pada nilai guru yang inovatif, dispesifikasi inovatif dalam menggunakan media pembelajaran berbasis proyek dengan menggunakan salah satu aplikasi atau perangkat lunak. Aplikasi yang digunakan untuk membuat proyek yaitu aplikasi canva.

Mengulas nilai inovatif karena nilai ini adalah nilai vital yang harus dimiliki para guru. Inovatif berkaitan dengan perubahan baru. Sesuatu yang baru di dalam kelas pasti akan memikat para peserta didik. Rancangan ini diperuntukan bagi Bapak/Ibu guru yang memang belum pernah menggunakan aplikasi Canva untuk proses pembelajaran di kelas maka disebut berinovasi. Jika sudah pernah menggunakan di kelas dapat berinovasi menggunakan templates baru.

Sesuatu yang baru akan memancing keingintahuan peserta didik sehingga memicu motivasi untuk belajar.  Dengan motivasi itulah siswa akan tergugah jiwa kreatifnya.

Aplikasi Canva sebagai media pembelajaran

Aplikasi Canva memang recommended untuk menciptakan kelas dengan anak-anak kreatif. Di dalamnya telah tersedia banyak pilihan template. Selain itu, template yang ada juga dapat diubah-ubah sesuai keinginan. Dari warnanya, bentuknya, posisinya dan lain-lain.

Di Canva juga variatif template-nya. Tinggal pilih sesuai selera. Dari yang fitur pro hingga gratisan juga variatif. Variatif dari segi bentuk, model, warna, jenis dan lain-lain. Eye catching untuk dilihat bagi penyuka visualisasi.

Yang tidak kalah menarik, template yang variatif ini juga gratis. Tinggal akses internet dan sign up, canva dapat diakses dan membuat proyek.

Media yang dibutuhkan

Media yang dibutuhkan berupa laptop/tablet/smartphone untuk media utama. Jika menggunakan smartphone atau tablet biasanya download dulu aplikasinya, tetapi jika menggunakan laptop atau perangkat komputer langsung masuk di website-nya saja.

Dibutuhkan pula jaringan internet. Canva diakses secara daring untuk membuat proyeknya. Jaringan internet yang stabil dan mumpuni perlu dipersiapkan sebelum pembelajaran.

Langkah-langkah rancangan pembelajaran

Langkah pertama, selaku pendidik perlu menentukan strategi pembelajaran yang cocok untuk pembelajran berbasis proyek. Sehingga ketika tiba di kelas, dapat dimulai dengan sign up ke akun Canva (jika siswa belum sign up).

Berikutnya, guru bersama siswa membuat kesepakatan jenis proyek yang akan dibuat. Dalam kesepakatan ini konteksnya bukan memilih satu proyek yang sama. Tetapi guru hanya mengontrol siswa memilih proyek apa. Tidak masalah proyeknya berbeda-beda satu siswa/kelompok dengan siswa /kelompok lainnya.

Proyeknya sendiri dapat berupa produk video, poster, banner, komik dan lain-lain sesuai dengan fitur yang disukai di Canva. Jadi guru tidak perlu menentukan proyek apa agar seragam satu kelas proyeknya. Justru pilihan proyek yang variatif sesuai dengan ketertarikan siswa itu akan tampak unik.

Langkah berikutnya adalah siswa ditempatkan dalam kelompok untuk berdiskusi terkait proyek. Di tahap ini siswa berdiskusi apa saja yang dibutuhkan dalam membuat proyek via canva. Siswa juga secara mandiri dan kolaboratif membagi tugas masing-masing. Siswa bebas menentukan di mana mereka membuat proyek, mengambil gambar, mengambil video dan lain-lain. Biarkan mereka berpikir sepenuhnya untuk menyelesaikan proyeknya.

Langkah berikutnya adalah melaksanakan proyek via Canva. Di sini siswa mengeksekusi proyek yang telah direncanakan. Siswa dibebaskan untuk berkreasi, tidak perlu ada batasaan hasilnya harus begini dan begitu.

Setelah menyelesaikan proyeknya, siswa kembali berdiskusi dalam kelompok untuk membahas kelayakan produk. Apakah produk layak tampil? Sudah baguskah? Di situlah kesempatan siswa untuk mengedit/sunting karyanya. Pertimbangkan kembali apa-apa yang harus ditambahkan dan perbaiki.

Step terakhir yaitu mempresentasikan karya/produk hasil proyek tersebut. Untuk presentasi juga terdapat beberapa pilihan. Bisa menggunakan proyektor di kelas, mengirim via Whats App group agar siswa lain yang tergabung di grup dapat melihat, atau diunggah di sosial media agar teman dan orang lain dapat melihat juga. Bebaskan sesuai dengan keinginan siswa.

Demikian ulasan mengenai rancangan kegiatan inovatif menggunakan aplikasi Canva dalam pembelajaran berbasis proyek. Semoga bermanfaat, terima kasih.   

Thursday, August 31, 2023

Pemahaman dari Filosofis Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Penerapannya di Sekolah Masa Kini

Sumber gambar: Wikipedia


 

        Proses pendidikan tentu tidak berjalan dengan sendirinya. Ada pelopor yang berpengaruh besar dalam perjuangan menyamaratakan hak memperoleh pendidikan. Nama yang tak akan pernah lekang oleh zaman adalah Ki Hajar Dewantara, yang disebut juga Bapak Pendidikan. Beliaulah yang memperjuangkan hak masyarakat Indonesia untuk dapat mengenyam pendidikan, dan di masa kini beliaulah panutan para penerus proses pendidikan yaitu guru dan siswa.

Telah lekat pemikiran kolod bahwa anak dididik itu bermaksud diubah dari tidak baik menjadi baik. Dipaksa tidak mau menjadi mau. Dipaksa dari tidak bisa menjadi bisa. Nyatanya tidak semua anak harus mau. Tidak semua anak harus bisa sesuatu yang memang tidak harus bisa. Kita tidak akan pernah mampu memaksa ikan untuk terbang dan memaksa burung untuk menyelam, bukan? Yang seharusnya, jika jadi burung, terbanglah menembus cakrawala, dan jika menjadi ikan, menyelamlah di laut terdalam untuk menemukan Mutiara.

Pemahaman tentang semboyan yang harus diimplementasikan

Hingga kini dikenal semboyan dari Ki Hajar Dewantara yaitu “Tut Wuri Handayani” yang masih disematkan menjadi semboyan pendidikan di Indonesia. Yang diketahui secara umum bahwa semboyan tersebut berarti “di belakang memberi dorongan”. Semboyan bukanlah hanya semboyan belaka tetapi terapkan maknanya juga. Bagaimana mengaitkan pemahaman semboyan ini dalam dunia pendidikan khususnya peran sebagai guru?

Di belakang memberi dorongan bermaksud bukan mendorong, menggiring dan memaksa anak-anak atau siswa sesuai kehendak guru. Tetapi maknanya adalah pelan-pelan mendorong dan mengarahkan sesuai jalan yang anak kehendaki. Mengarahkan dan menggali potensi diri yang dimiliki oleh anak didik.

Ketika anak-anak telah tiba di sekolah, mereka bukanlah bayi baru lahir sehingga bak kertas kosong. Mereka telah hidup sekian tahun sebelum akhirnya memilih sekolah untuk tempat mengenyam pendidikan. Sehingga mereka telah memiliki garis-garis karakteristik bawaan dari genetik maupun lingkungan. Tugas guru dalam mendorong adalah mengasah kembali karakteristik baik yang memungkinkan mengandung minat dan bakat di dalamnya.

Dilansir dalam modul 1.1 Program Pendidikan Guru Penggerak yang berjudul Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.”

Dari kutipan di atas dapat dimaknai bahwa ada karakteristik anak yang memang tidak dapat diubah lagi, guru tidak berhak mengubahnya. Semua yang sudah menjadi dasar hidup anak itu ada bukan untuk diubah apalagi dihilangkan. Misalnya kesukaan anak, batas kesabaran anak, dan lain-lain.

Untuk watak yang dapat diubah pun bukan serta-merta guru bisa mengubahnya tetapi guru mendorong watak tersebut untuk jadi lebih baik. Misalnya membantu siswa untuk mengasah skillnya dalam bidang berbahasa asing, memfasilitasi siswa untuk menyalurkan bakatnya, dan lain-lain.

Kodrat anak

Masih dilansir dari Modul 1.1 Program Guru Penggerak dengan judul Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, dijabarkan bahwa anak memiliki dua kodrat yaitu kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan karakteristik dan lingkungan yang memang tidak dapat diubah tetapi dapat digali dan ditingkatkan potensi baiknya. Kodrat zaman yang justru kebalikannya, kodrat ini dapat berubah-ubah sesuai zaman yang berlangsung.

Diketahui bahwa zaman terus bergulir tanpa menemukan titik henti. Dalam hal ini bukan hanya anak yang terus mengubah zaman demi zaman, tetapi guru juga mutlak mengikuti perkembangan zaman tersebut. Bagaimana guru dapat menjadi panutan jika zaman saja ketinggalan di belakang. Bukan begitu?

Menggali lagi kodrat zaman, saya berusaha untuk mengimplementasikan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Menggunakan alat peraga yang sudah tersedia di sekolah sebagai media pembelajaran adalah salah satu langkah awalnya. Kemudian menggunakan perangkat digital yang lekat dengan dunia  gen Z. menyelami terlebih dahulu apa yang mereka sukai kemudian guru beradaptasi.

                                      Salah satu tugas menyusun percakapan dalam bentuk video


Anak-anak gen Z yang lahir sebagai digital native kebanyakan menyukai dunia video creator. Saya berusaha menerapkan itu. Untuk anak-anak yang tidak suka menulis, tetapi suka membuat video, diperbolehkan membuat proyek latihannya dengan menggunakan video. Misalnya latihan menyusun dialog percakapan. Tidak semua anak suka menulis, dan tidak semua anak percaya diri tampil di kelas. Merekam dan berdialog banyak menjadi alternatif untuk tipe anak seperti ini.

Komik digital karya Lutfi dan kawan-kawan siswa SMP PGRI Mako


Tidak hanya itu, untuk anak-anak yang menyukai menggambar. Memilih untuk membuat percakapan dengan gambar atau komik. Lagi-lagi ketika diberi pilihan membuat komik manual atau digital, mereka memilih komik digital karena pilihan warna yang tegas, jelas dan variatif. Lebih rapi dan menarik hasilnya dari komik digital menurut anak-anak.

 Apa yang harus dilakukan setalah memahami kodrat anak?

Untuk yang selama ini masih memiliki pemahaman mendidik adalah mengubah, memaksa, mengharuskan bisa. Maka sebisa mungkin tidak merampas hak dan kodrat anak lagi. Kembalikan kodratnya. Tuntun meraka meraih impiannya, tuntun mereka untuk mendalami bakatnya, tuntun mereka mendapatkan kemerdekaan dalam belajarnya.

Selain itu sadari bahwa kita hidup bukan di zaman kita dilahirkan. Tetapi guru mendidik di mana zaman anak-anak berkembang. Bahkan guru mendidik bukan di zaman di mana guru dulu dididik. Jells beda zaman. Tidak bisa membandingkan zaman guru sekolah dan zaman anak didiknya sekarang sekolah.

Mengikuti perkembangan zaman itu hukumnya mutlak harus. Tentu dengan jalan menjadi pembelajar sepenjang hayat. Tugas guru bukan hanya mengajar tetapi terus dan terus belajar.

Setelah memahami filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, saya bertekad untuk lebih memahami kodrat alam anak, bakat, minat, karakteristiknya. Dengan begitu dapat mempermudah menerapkan strategi mengajar yang sesuai.

Menggali kembali potensi yang murni telah dimiliki anak, atau memperjelas garis-garis bakat anak yang telah disiapkan oleh alam sekitar sebelum anak mengenal sekolah.

Demikian ulasan saya tentang pemahaman filosifis pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Berharap besar bahwa ulasan ini dapat bermanfaat.

Wednesday, August 30, 2023

Nilai-nilai Kearifan Budaya Daerah Asal yang Relavan Menjadi Penguatan Karakter Murid Sebagai Individu Sekaligus Sebagai Anggota Masyarakat

Sosio-kultural di Daerah Asal


    Di dalam lingkungan pendidikan khususnya di sekolah, yang memiliki beberapa komponen, salah satunya pendidik dan peserta didik tidak akan lepas dari sosio-kultural daerah tersebut. Sosio-kultural sudah menjadi kodrat alam yang terbentuk dari adat istiadat bermasyarakat.

Terdapat beberapa konsep yang dapat diimplementasikan kepada peserta didik kaitannya antara konteks lokal sosial budaya dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Diantaranya adalah:

  • 1.      Peserta didik menyandang kodrat alam
  • 2.      Peserta didik mampu menghargai perbedaan
  • 3.      Peserta didik mampu menemukan makna hidup
  • 4.      Peserta didik mampu menghargai leluhur

 

            Peserta didik menyandang kodrat alam

Kembali ke filosofis Ki Hajar Dewantara bahwa anak menyandang kodrat alam, seperti budaya, karakteristik dan lingkungan. Kodrat alam tersebut bahkan sudah melekat pada diri anak sebelum ia masuk ke lingkup sekolah

Pendidik tidak menghilangkan kodrat alam anak

Sebagai seorang pendidik yang bertatap muka dengan anak setelah masuk lingkungan sekolah, pendidik perlu menyadari bahwa anak bukan kertas kosong yang dengan bebas mau dicoret dengan tinta warna apa. Pendidik tidak memiliki hak untuk mengubah apalagi menghilangkan kodrat alam anak.

·         Pendidik mengeksplor kodrat alam anak yang dibawanya

Alih-alih mengubah kodrat anak sesuka tujuan pembelajaran, tetapi pendidik justru diharuskan untuk mengeksplor kodrat alam anak yang telah tersedia. Pendidik dapat menggali minat dan bakat  anak agar dapat berkembang lebih baik. Potensi anak yang ada merupakan kodrat alam yang tidak perlu diubah-ubah.

Misalnya, anak dengan postur tubuh yang ideal dan tinggi, dipaksa untuk mengikuti latihan bola kaki, sedangkan anak tidak berminat sama sekali, dia lebih suka menggambar atau melukis. Maka walau pendidik merasa anak pantas untuk menekuni bidang olah raga, tetapi pendidik tidak dipernankan memaksa. Justru bakat anak melukis yang harus dikembangkan agar menemukan potensi diri yang lebih hebat lagi.

                        Peserta didik mampu menghargai perbedaan

Suku, adat dan budaya di sekolah yang majemuk menuntut pendidik untuk menuntun peserta didiknya agar saling menghargai. Menghargai dalam semua aspek di lingkup sekolah dan Masyarakat. Bukan hanya peserta didik yang wajib memiliki etika menghargai, tetapi juga gurunya sebagai pendidik wajib memiliki attitude baik dalam menerapkan budaya saling menghargai.

      Menghargai perbedaan budaya dan adat

Mengingat kemajemukan keluarga besar di lingkup sekolah, yang datang dari berbagai lokasi, saling menghargai perbedaan mutlak diterapkan. Pendidik perlu memberi pemahaman bahwa perbedaan bukanlah celah untuk mencela satu sama lain. Berbeda adalah warna, dan warna-warni itu indah.

      Tidak saling merundung (bully)

Sebisa mungkin lingkungan sekolah itu nol perundungan atau bullying. Biasanya pelaku bully menganggap perkataannya hanya bercanda, tetapi kita tidak pernah tau sekuat atau selemah apa mental seseorang. Maka, seperti apapun bentuknya perkataan atau sikap merendahkan itu tidak ada sisi baiknya. Jika saling menghargai sudah dapat diterapkan, maka aksi perundungan dapat diminimalisir. 

      Menampilkan budaya dengan percaya diri

Demi memperkuat kecintaan terhadap budaya daerah dan melestarikannya agar tidak punah, maka menampilkan atau menyelenggarakan pameran budaya itu perlu dilaksanakan. Selenggarakan event apapun itu, dan menyisipkan tampilan budaya.

Contohnya:

1.      Pada acara perayaan hari kemerdekaan, diadakan juga karnaval budaya dengan iring-iringan yang mengenakan pakaian adat. Kegiatan ini telah terselenggara di Kabupaten Buru, di Kecamatan Lolong Guba dan Waeapo contohnya.

2.      Pada acara Hari PGRI, biasanya diadakan upacara peringatan dan ditutup dengan acara makan-makan makanan tradisional Buru. Banyak ragamnya, dari makanan berkarbohidrat sebagai manakan pokok, sampai lauk-pauk hasil laut.

3.      Pada acara-acara yang diselenggarakan di sekolah seperti pada saat porseni, sekolah dapat menampilkan kelompok-kelompok untuk menarikan tarian tradisional. Cara ini juga untuk mempererat kecintaan terhadap budaya di daerah ini.

                        Peserta didik mampu menemukan makna hidup

Memang benar bahwa guru mendidik saat ini, tetapi detik ini bukannya akhir dari kehidupan. Sangat diharapkan bahwa apa yang guru implementasikan saat ini, dapat bermanfaat kelak. Maka, guru perlu kiranya mampu menuntun peserta didik untuk menemukan makna hidupnya.

Makna hidup, tidak semata-mata hanya soal materi belaka. Makna hidup juga perkara kesejahteraan batiniah.

Salah satu cara memaknai hidup dalam lingkup sekolah adalah pendidik menuntun peserta didiknya untuk dapat mengolah dan memanfaatkan hasil bumi di daerahnya untuk kebutuhan hidup.

 

      Pendidik menuntun untuk mengolah hasil bumi daerah setempat

Alam yang kaya, perlu sumber daya manusia agar tidak terbuang sia-sia atau malah dikuasai oleh orang asing. Sedemikian banyak hasil bumi di Kabupaten Buru, terdapat tanaman sederhana yang mudah untuk dibudidayakan, ditanam dan diolah di sekolah. Contohnya tanaman singkong, yang mana banyak berbagai makanan olahan singkong yang biasa menjadi makanan sumber karbo di Buru ini.

Menanam singkong di lahan sekolah yang tidak butuh luas. Singkong dapat diolah menjadi keripik, embal, direbus, dikolak dan lain-lain.

Soal memanfaatkan hasil bumi ini juga menuai polemik. Terdapat peserta didik yang memang berasal dari keluarga pemanfaat hasil bumi atau petani. Peserta didik di pesisir, tidak sedikit yang meninggalkan sekolah demi memetik cengkih dan pala. Dilema juga, tidak sekolah akan tertinggal, tidak ke kebun maka tidak memiliki uang untuk sekolah. Hal ini bukan Cuma melibatkan guru sebagai penyelesaian. Tetapi juga pimpinan sekolah, bimbingan konseling, orang tua tentunya. Penanaman pemahaman tentang pendidikan perlu disosialisasikan untuk orang tua dan anggota keluarga tentunya.

      Pendidik menuntun untuk menemukan makna dari hasil

Selain memanfaatkan hasil bumi, pendidik perlu menuntun peserta didiknya untuk menemukan makna berkelanjutan dari hasil bumi tersebut. Misalnya mengajari untuk mengolah, memasarkan dan diberi pencerahan seperti apa untuk perkembangan ke depan.

Peserta didik mampu menghargai leluhur

Disadari bahwa sebelum kita hidup, ada leluhur yang lebih dulu membentuk adat, budaya, lingkungan yang menjadi kodrat ala manak. Perlu sekiranya anak dapat menghargai leluhur, para pahlawan termasuk pahlawan pendidikan. Maka peserta didik diarahkan untuk menghargai leluhur beserta adat istiadatnya.

Beberapa contoh cara menghargai leluhur adalah:

·         Mengheningkan cipta dan berdoa untuk arwah pahlawan

·         Berziarah ke makam pahlawan dan guru-guru yang telah wafat

·         Mengunjungi peninggalan sejarah di daerah setempat

 

Kekuatan pemikiran KHD yang menebalkan laku murid sesuai konteks lokal sosial budaya di daerah

Dari penjabaran di atas maka dapat diambil kesimpulan kekuatan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang dapat menebalkan laku peserta didik sesuai konteks lokal budaya adalah sebagai berikut:

      Menghargai asal usul

      Menghargai leluhur

      Melestarikan budaya

      Memanfaatkan hasil bumi

 

 


Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan Program Gaya Hidup Berkelanjutan untuk Kelas VII di SMP PGRI Mako

Proses P5 Gaya Hidup Berkelanjutan dengan memanfaatkan limbah gelas plastik Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) merupakan kegiata...